
Asal Pasang Harga Bisa Rugi! 9 Strategi Penetapan Harga Menu yang Bikin Bisnis Kuliner Lebih Untung
Febbi S
Bayangkan kamu baru saja membuka restoran. Nasi ayam dijual Rp20 ribu, es teh Rp5 ribu.
Lebih menguntungkan dijual terpisah atau digabungkan jadi paket hemat Rp 25 ribu?
Atau, kamu menawarkan kopi ukuran kecil seharga Rp15 ribu dan ukuran yang besar Rp 25 ribu.
Jika ditambahkan ukuran medium dengan harga Rp 23 ribu, kira-kira mana yang akan dipilih pelanggan?
Pertanyaan sederhana seperti itu merupakan bagian penting dari strategi penetapan harga, seni menentukan harga yang tidak hanya membuat bisnismu bertahan, tapi juga tumbuh dan mendatangkan profit optimal
Memahami Strategi Penetapan Harga & Konsep Dasarnya
Sebelum membahas 9 strateginya, mari pahami dulu fondasi pricing berikut ini:
1. Harga Sebagai Bagian dari Marketing Mix
Menurut Philip Kotler, harga adalah satu-satunya elemen dalam marketing mix yang menghasilkan pemasukan.
Sementara produk, distribusi, dan promosi justru menghabiskan biaya. Artinya, harga bisa menjadi tombol tercepat untuk mengatur profit.
2. Harga = Citra Brand
Harga mencerminkan posisi brand di pasar.
- Premium: Starbucks menjual kopi dengan harga 3–4 kali lebih mahal dibanding warkop, karena yang dijual bukan hanya rasa, tapi lifestyle atau gaya hidup.
- Terjangkau: Indomie tetap mempertahankan harga murah dan menjadi simbol keterjangkauan.
3. Harga Berpengaruh pada Profit
Menurut Harvard Business Review, menaikkan harga sebesar 1% saja bisa meningkatkan laba lebih dari 11% (dengan asumsi volume penjualan stabil).
Hal ini menunjukkan bahwa penetapan harga memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan promosi besar-besaran.
4. 3 Pilar Pricing Strategy
- Biaya (Cost): Fondasi yang harus ditutup.
- Kompetitor: Patokan untuk membandingkan harga
- Nilai (Value): Penentu seberapa besar konsumen bersedia membayar.
Dengan memahami dasar ini, pelaku usaha kuliner menyadari bahwa harga bukan sekadar murah atau mahal, tapi menyangkut posisi brand, nilai yang ditawarkan, dan keberlanjutan bisnis.
9 Strategi Penetapan Harga Kuliner
Sumber: Foodizz
Agar lebih konkret, mari lihat bagaimana brand kuliner lokal maupun global mempraktikkan 9 strategi penetapan harga kuliner ini:
1. Competition-Based Pricing – Kopi Kenangan vs Janji Jiwa
Saat tren kopi susu sedang naik daun, Kopi Kenangan dan Janji Jiwa bermain di harga Rp 18 – 22 ribu.
Kenapa bukan Rp 30 ribu seperti Starbucks? Karena mereka menargetkan kelas menengah perkotaan.
Dengan menyesuaikan harga lebih murah dibandingkan kompetitor, brand baru lebih cepat diterima pasar.
Tapi ingat, meskipun menyesuaikan harga, brand tetap harus punya pembeda, misalnya aplikasi loyalitas milik Kopi Kenangan.
2. Cost-Plus Pricing – Central Kitchen Bandung
Sumber: Oroinc.com
Sebuah dapur produksi di Bandung membuat frozen katsu dengan biaya Rp 28 ribu per bungkus.
Mereka menambahkan margin 40% dan menjualnya ke kafe rekanan seharga Rp 39 ribu.
Transparansi ini membuat mitra merasa harganya masuk akal dan mudah untuk dinegosiasi.
Cocok untuk model B2B karena logis dan sederhana. Tapi untuk B2C, perlu disesuaikan dengan daya beli konsumen.
3. Penetration Pricing – Brand Boba Baru
Ketika memasuki market yang sudah saturated atau ramai, sebuah minuman boba baru di Jakarta menjual semua menunya seharga Rp 10 ribu selama seminggu pertama.
Hasilnya? Antrean panjang dan viral di media sosial. Setelah sebulan, harga naik ke Rp 18–20 ribu, namun trafik tetap tinggi.
Strategi ini ampuh untuk membangun awareness, tapi harus ada rencana jelas untuk menaikkan harga agar margin tetap sehat.
4. Bundling Pricing – McDonald’s Value Meals
Sumber: Foodizz
McD menawarkan burger + kentang + soda dengan harga lebih murah dibanding beli satuan.
Konsumen merasa mendapat nilai lebih, sementara McD berhasil menaikkan rata-rata transaksi (Average Per Check).
Bundling bukan cuma soal murah, tapi trik agar pembeli belanja lebih banyak dalam satu transaksi.
Baca juga: Salah Hitung Bisa Bikin Rugi! Kenali 4 Faktor Penting dalam Menentukan Harga Menu Restoran
5. Loss Leader Pricing – Kedai Kopi Independen
Sebuah kedai kopi baru di Jakarta menjual kopi susu seharga Rp 5 ribu untuk 50 pembeli pertama.
Meski rugi di produk kopi susu, mereka melakukan upselling dengan menawarkan pastry seharga Rp 20 ribu dan berhasil menutup kerugian.
Strategi ini harus dibarengi dengan upselling atau cross-selling. Tanpa itu, bisa jadi sekadar “bakar duit”.
6. Price Tier Strategy – Janji Jiwa di Jakarta & Jogja
Harga kopi Janji Jiwa berbeda-beda di setiap kota: Rp24 ribu di Jakarta, Rp19 ribu di Jogja.
Adanya perbedaan harga antar kota ini karena daya beli dan biaya operasional yang berbeda. Konsumen tetap puas selama kualitas dan pengalaman tetap sama.
Strategi ini menjaga margin tetap sehat tanpa kehilangan pelanggan di pasar sensitif harga.
7. Optional Pricing Strategy – Shabu All You Can Eat
Restoran menawarkan tiga pilihan paket: Regular Rp 150 ribu, Premium Rp 200 ribu, dan Wagyu Rp 300 ribu.
Banyak pelanggan akhirnya memilih Premium karena merasa selisih harga dengan Regular kecil tapi value-nya lebih tinggi.
Memberi opsi harga memberi kendali ke konsumen dan secara halus mendorong mereka untuk upgrade.
8. Product Line Pricing – Starbucks Seasonal Menu
Starbucks menjual kopi reguler Rp 30 ribu, sementara latte musiman bisa sampai Rp50 ribu.
Padahal sama-sama kopi, tapi karena kesan eksklusif dan edisi terbatas, konsumen bersedia bayar lebih.
Dengan strategi ini, brand bisa menyasar berbagai segmen dari kelas menengah hingga premium.
9. Psychological Pricing – Marketplace Kopi Online
Beberapa kedai kopi di GoFood menetapkan harga Rp 9.999 alih-alih Rp 10.000.
Efeknya, konsumen merasa harga “di bawah sepuluh ribu” lebih terjangkau, padahal beda cuma Rp 1.
Trik sederhana seperti ini, termasuk charm pricing dan decoy effect, dapat meningkatkan konversi tanpa harus memberi diskon besar-besaran.
Takeaway
Dari teori hingga studi kasus, kita bisa simpulkan:
- Bundling & optional pricing efektif mendorong konsumen beli lebih banyak
- Penetration & loss leader bagus untuk fase launching, tapi harus punya batas waktu & strategi pendamping
- Psychological pricing adalah “senjata halus” untuk meningkatkan konversi.
FAQ: Strategi Penetapan Harga Kuliner
1. Apakah harga harus sama di semua outlet?
Tidak. Dengan price tier strategy, harga bisa berbeda sesuai daya beli lokal, asalkan kualitas tetap konsisten.
2. Apa bedanya bundling dan loss leader pricing?
- Bundling: gabungkan beberapa menu jadi paket hemat.
- Loss leader: jual 1 menu di bawah modal untuk tarik traffic, lalu tutup margin lewat upselling/cross-selling.
3. Berapa lama idealnya menerapkan penetration pricing?
Biasanya 1–6 bulan saat launching. Setelah awareness terbentuk, harga dinaikkan bertahap.
4. Apa risiko terlalu sering memberi diskon?
Konsumen bisa jadi “candu diskon” dan hanya beli saat promo. Nilai brand menurun, margin makin tipis.
5. Bagaimana cara menentukan harga yang aman untuk bisnis kecil?
Mulai dari HPP, tambahkan margin 20–40%, lalu sesuaikan dengan daya beli dan harga kompetitor.
Penutup
Menentukan harga yang tepat memang tidak mudah. Tapi dengan strategi yang jelas, data yang rapi, dan mentor yang berpengalaman, keputusan bisa lebih cepat dan akurat.
Kamu bisa belajar langsung cara menerapkan strategi ini dalam bisnis kuliner bersama mentor berpengalaman di program Foodizz, mulai dari Kelas Offline Pemula, Kelas Online Pemula, hingga Kelas Offline Marketing & Sales untuk F&B.
