
Restoran Laris, Tapi Profit Tipis? Bongkar 11 Kesalahan Fatal Penentuan Harga yang Bikin Restoranmu Tekor
Febbi S
Bayangkan kamu membuka restoran ramen. Awalnya kamu merasa harga Rp45 ribu sudah sesuai.
Namun setelah satu tahun, harga bahan baku meningkat, sementara harga jual tetap. Akibatnya, meski restoran ramai dan margin keuntungan menipis bahkan nyaris tidak ada.
Atau kamu menjalankan promo “Buy 1 Get 1” setiap minggu. Awalnya memang ramai. Tapi lama-kelamaan, pelanggan hanya mau datang saat ada promo. Ketika tidak ada promo, restoran menjadi sepi.
Dua contoh tersebut menunjukkan bahwa strategi penetapan harga yang salah bisa membuat bisnis kuliner merugi, meskipun terlihat laris.
Kenapa Penetapan Harga Bisa Jadi Jebakan?
Sebelum membahas 11 kesalahan yang umum terjadi, penting untuk memahami alasan mengapa penetapan harga seringkali menjadi masalah:
- Harga memiliki pengaruh langsung terhadap penjualan. Kenaikan atau penurunan kecil bisa berdampak besar pada margin keuntungan.
- Harga membentuk persepsi merek. Harga yang terlalu murah bisa merusak citra, sementara yang terlalu mahal bisa mengusir pelanggan.
- Harga bersifat dinamis. Berbeda dari elemen seperti desain interior restoran, harga perlu disesuaikan secara berkala mengikuti biaya, tren, dan daya beli pelanggan.
Intinya, penetapan harga bukan sekadar soal “murah atau mahal”, tapi bagaimana harga tersebut memperkuat brand dan menjaga kelangsungan bisnis.
Jika kamu merasa kesulitan mengatur sistem harga dan operasional secara konsisten, coba ikuti Kelas Offline Operasional Bisnis Kuliner Foodizz untuk mempelajari bagaimana pricing terintegrasi dengan manajemen SDM, sehingga operasional outlet tetap sehat
11 Kesalahan Fatal dalam Menentukan Harga
1. Lupa Hitung HPP (Harga Pokok Produksi)
Banyak pelaku bisnis menetapkan harga tanpa memahami biaya bahan baku dan operasional.
Contoh: Warung ayam geprek menjual seporsi seharga Rp 15 ribu/porsi. Namun, Setelah dihitung, biaya produksinya Rp 14 ribu.
Artinya, keuntungan hanya Rp 1 ribu per porsi, tentu tidak cukup untuk menutup biaya sewa dan gaji karyawan.
2. Tidak Melakukan Riset Pasar
Harga ditentukan tanpa memperhitungkan daya beli konsumen.
Contoh: Restoran steak di Jogja mematok Rp 80 ribu/porsi, padahal target konsumennya mahasiswa. Alhasil, restoran sepi pengunjung.
3. Terlalu Sering Memberikan Diskon
Sumber: Canva
Diskon yang terlalu sering membuat pelanggan hanya datang saat ada promo.
Contoh: Coffee shop rutin memberikan promo “Buy 1 Get 1”. Ketika promo dihentikan, omzet langsung turun drastis.
4. Meniru Harga Kompetitor Tanpa Analisis
Mengikuti harga pesaing tanpa mempertimbangkan struktur biaya sendiri.
Contoh: Restoran sushi kecil meniru harga Sushi Tei, padahal biaya produksinya lebih tinggi. Akibatnya margin keuntungan terlalu kecil dan bisnis tidak bertahan lama.
5. Tidak Memiliki Strategi Bundling Price atau Upselling Price
Menu hanya dijual satuan tanpa penawaran paket. Contoh: Burger dijual Rp25 ribu dan minuman Rp10 ribu. Jika dijadikan paket Rp30 ribu, pelanggan merasa lebih hemat dan nilai transaksi meningkat.
Baca juga: Salah Hitung Bisa Bikin Rugi! Kenali 4 Faktor Penting dalam Menentukan Harga Menu Restoran
6. Tidak Melakukan Penyesuaian Harga Secara Berkala
Sumber: Canva
Harga jual tetap meski biaya bahan baku meningkat.
Contoh: Restoran ramen menjual dengan harga tetap Rp45 ribu sejak 2019, padahal bahan baku impor naik 30%. Margin keuntungan menyusut drastis.
7. Terlibat dalam Perang Harga Tanpa Strategi
Menurunkan harga hanya demi menarik lebih banyak pelanggan.
Contoh: Dua warung geprek di lokasi yang sama saling menurunkan harga dari Rp20 ribu menjadi Rp15 ribu. Akhirnya keduanya rugi.
8. Komunikasi Promo yang Tidak Jelas
Pelanggan merasa tertipu karena informasi promo tidak lengkap.
Contoh: Restoran cepat saji mengiklankan “Beli 1 Gratis 1 Burger” tanpa keuntungan promo seperti batas waktu promo berlaku.
Pelanggan kecewa saat tidak bisa klaim promo dan meninggalkan ulasan buruk.
9. Harga Tidak Konsisten Antar Lokasi
Perbedaan harga tanpa penjelasan yang jelas.
Contoh: Harga kopi di mall Rp25 ribu, sementara di perumahan hanya Rp20 ribu. Pelanggan bingung dan mempertanyakan keadilan harga.
10. Mengabaikan Masukan dari Pelanggan
Sumber: Canva
Tidak merespons keluhan atau kritik terkait harga.
Contoh: Restoran bakmi menaikkan harga Rp5 ribu tanpa tambahan nilai. Pelanggan kecewa dan berpindah ke kompetitor.
11. Menganggap Harga Murah Selalu Menguntungkan
Tingginya jumlah pelanggan belum tentu sebanding dengan keuntungan jika margin terlalu kecil.
Contoh: Restoran AYCE menurunkan harga menjadi Rp99 ribu. Pengunjung banyak, tapi biaya operasional tidak tertutup. Bisnis hanya bertahan enam bulan.
Studi Kasus Singkat
- Diskon berlebihan: Coffee shop hanya ramai saat promo berlangsung
- Harga tidak disesuaikan: Restoran ramen merugi karena biaya naik tapi harga tetap
- Perang harga: Dua warung geprek sama-sama merugi karena saling banting harga
- Komunikasi promo yang buruk: Restoran cepat saji mendapat ulasan negatif karena syarat promo tidak jelas.
Kalau kamu sudah berada di level ingin mengembangan cabang baru tapi takut terjebak kesalahan pricing yang sama, kamu bisa ikut Kelas Scale up Bisnis Kuliner Foodizz. Kelas ini cocok untuk shareholder, investor, atau owner yang ingin ekspansi cabang dengan model investor outlet.
Semua contoh menunjukkan satu hal penting: penetapan harga yang salah dapat merugikan bisnis, meskipun terlihat ramai.
Baca juga: 9 Strategi Penetapan Harga Kuliner: Dari Bundling sampai Psychological Pricing
Pertanyaan Umum (FAQ)
1. Apakah diskon selalu merugikan?
Tidak. Diskon efektif untuk peluncuran produk atau promo musiman. Namun, jika terlalu sering digunakan, pelanggan hanya akan berbelanja saat ada promo.
2. Seberapa sering harga harus dievaluasi?
Sebaiknya dilakukan setiap 3–6 bulan, atau ketika ada perubahan signifikan dalam biaya atau tren pasar.
3. Bagaimana cara menghindari perang harga?
Fokuslah pada diferensiasi seperti kualitas rasa, suasana restoran, atau layanan pelanggan, bukan hanya bersaing melalui harga.
4. Apakah harga boleh berbeda antar outlet?
Boleh, selama ada strategi tiering harga yang jelas dan konsisten. Strategi tiering harga adalah cara menetapkan beberapa tingkatan harga berbeda untuk produk yang sama, misalnya berdasarkan lokasi outlet, jumlah pembelian, atau segmen pelanggan. Contohnya, kopi bisa dijual Rp20.000 di outlet pusat kota, tapi Rp15.000 di area kampus agar tetap terjangkau.
5. Bagaimana cara mengetahui apakah harga terlalu murah?
Jika omzet meningkat tetapi profit tetap atau bahkan menurun, kemungkinan besar margin Anda terlalu kecil.
Kesimpulan
Kesalahan dalam penetapan harga bisa terjadi bahkan pada bisnis yang ramai pembeli.
Mulai dari kesalahan menghitung HPP, terlalu sering memberikan diskon, hingga komunikasi yang tidak jelas mengenai harga. Semuanya bisa berujung pada kerugian.
Pelajari dan hindari 11 kesalahan di atas untuk menetapkan harga secara strategis: konsisten, transparan, sesuai dengan daya beli, dan tetap menjaga margin keuntungan yang sehat.
Kalau kamu butuh diskusi lebih lanjut, Foodizz juga menyediakan Private Mentoring untuk membahas problem spesifik bisnismu, baik offline maupun online.
Bisnis kuliner Kamu jalan di tempat karena kesalahan di operasional, marketing, atau keuangan? Jangan biarkan itu terus terjadi.
Dapatkan analisis mendalam dan solusi langsung dari mentor berpengalaman di Private Mentoring by Foodizz Academy. Fokus pada masalah spesifik Anda dan dapatkan arahan untuk membuat bisnis lebih maju.
