
Salah Hitung Bisa Bikin Rugi! Kenali 4 Faktor Penting dalam Menentukan Harga Menu Restoran
Febbi S
Bayangkan kamu baru membuka sebuah café di kawasan kampus. Kamu menjual kopi susu seharga Rp30 ribu.
Menurutmu harga itu sudah pas, karena kualitas biji kopi premium dan tempatnya cozy.
Tapi ternyata, mahasiswa merasa terlalu mahal yang akhirnya pengunjung jadi sepi.
Atau sebaliknya, kamu menjual menu rice bowl hanya Rp 18 ribu, padahal HPP-nya sudah Rp15 ribu.
Restoran ramai pembeli, tapi setelah dihitung, keuntungan nyaris tidak ada bahkan bisa bikin BONCOS.
Dua contoh sederhana ini menunjukkan bahwa salah hitung harga bisa bikin bisnis kuliner boncos meskipun terlihat ramai.
Menentukan harga bukan sekadar menambahkan margin di atas biaya produksi, tapi perlu mempertimbangkan empat faktor penting berikut.
1. Daya Beli Konsumen
Sumber: Foodizz
Harga harus sesuai dengan target market. Konsumen akan langsung menilai apakah harga pantas atau tidak berdasarkan kemampuan mereka membayar.
Contoh:
- Kopi susu Rp25 ribu terasa wajar di area perkantoran Jakarta.
- Di kawasan kampus Yogyakarta, harga sama dianggap mahal, karena mayoritas mahasiswa punya daya beli terbatas.
Risiko: Jika harga tidak sesuai daya beli, produk akan ditolak meski rasanya enak.
Tips: Lakukan riset sederhana—lihat demografi, UMR daerah, dan gaya konsumsi target konsumen.
2. Harga Kompetitor
Kompetitor bisa jadi acuan apakah harga kita masuk akal atau tidak. Konsumen selalu membandingkan harga produk sejenis.
Contoh:
- Warung ayam geprek di satu jalan umumnya Rp18–20 ribu. Jika ada resto baru mematok Rp35 ribu tanpa diferensiasi, konsumen akan kabur.
- Sebaliknya, jika harga terlalu murah jauh di bawah pasar, konsumen bisa meragukan kualitasnya.
Risiko: Produk bisa dianggap overpriced atau terkesan murahan.
Tips: Pantau harga pesaing, tapi jangan hanya meniru. Tetap sisipkan nilai tambah—misalnya porsi lebih besar, ambience lebih nyaman, atau layanan lebih cepat.
3. Positioning Produk
Harga adalah bahasa brand. Ia mencerminkan citra yang ingin kamu bangun di benak konsumen.
Contoh:
- Premium: Starbucks berani jual kopi Rp50 ribu karena konsumen membeli lifestyle, bukan sekadar minuman.
- Value for Money: Indomie tetap jadi simbol keterjangkauan meski biaya bahan baku naik.
Risiko:
- Harga terlalu murah bisa merusak citra premium.
- Harga terlalu tinggi tanpa kualitas & experience yang sesuai bisa membuat konsumen kecewa.
Tips: Tetapkan harga sesuai posisi brand. Kalau ingin tampil premium, pastikan experience, packaging, dan service mendukung.
4. Kualitas Produk
Kualitas rasa, porsi, hingga pelayanan sangat mempengaruhi apakah harga dianggap pantas. Konsumen rela membayar lebih jika kualitas sesuai ekspektasi.
Contoh:
- Resto ramen otentik bisa menjual Rp50 ribu/porsi karena konsisten rasa dan bahan impor.
- Sebaliknya, jika kualitas turun—porsi mengecil atau rasa berubah—konsumen merasa tertipu, meski harga sama.
Risiko: Review buruk, rating turun, repeat order anjlok.
Tips: Jaga kualitas produk sesuai klaim harga. Konsistensi adalah kunci loyalitas.
Menguasai faktor pricing memang penting, tapi seringkali praktik di lapangan lebih kompleks karena harus terkait dengan operasional, SDM, hingga sales outlet.
Hindari ‘boncos’ yang lebih besar dengan belajar cara menerapkan strategi harga yang terintegrasi dengan operasional bisnis, kamu bisa ikut Kelas Offline Operasional Foodizz.
Di sana kamu akan dibimbing untuk membuat sistem yang bukan hanya menghitung HPP, tapi juga menjaga efisiensi operasional.
Case Study: Ketika Salah Hitung Jadi Bumerang
- Tidak sesuai daya beli: steak house di kawasan kampus mematok harga Rp80 ribu/porsi. Mahasiswa tidak sanggup bayar, resto sepi meski rasa enak.
- Overpriced tanpa positioning: kedai kopi baru menjual Rp35 ribu/cup, setara Starbucks, tapi ambience dan kualitas masih standar. Konsumen menolak, bisnis jalan di tempat.
- Kualitas tidak konsisten: resto ramen tidak jaga standar. Saat viral di awal ramai, tapi saat kualitas turun, konsumen merasa harga Rp50 ribu tidak layak → rating jeblok.
Takeaway
Menentukan harga bukan hanya soal HPP atau untung rugi. Ada 4 faktor yang wajib jadi pertimbangan:
- Sesuaikan harga dengan daya beli target pasar.
- Amati dan analisis kompetitor.
- Tetapkan harga sesuai positioning brand.
- Pastikan kualitas produk konsisten dengan harga.
Salah hitung bisa bikin rugi, tapi strategi yang tepat bisa menjadikan harga sebagai mesin pertumbuhan bisnis kuliner.
Baca juga: 9 Strategi Penetapan Harga Kuliner: Dari Bundling sampai Psychological Pricing
FAQ
1. Apa hubungan harga dengan citra brand?
Harga adalah bahasa positioning. Mahal bisa berarti premium, murah bisa berarti value for money.
2. Apakah harga harus sama di semua outlet?
Tidak. Dengan price tier strategy, harga bisa disesuaikan dengan daya beli tiap kota.
3. Bagaimana tahu harga sudah sesuai daya beli konsumen?
Lakukan riset pasar (survey, data UMR, perilaku kompetitor) dan uji coba harga.
4. Apa risiko jika harga tidak sesuai kualitas produk?
Konsumen merasa ditipu, meninggalkan review buruk, dan tidak melakukan repeat order.
5. Seberapa sering harga perlu dievaluasi?
Idealnya setiap 3–6 bulan sekali, atau saat ada kenaikan signifikan biaya bahan baku.
Penutup
Mengelola harga butuh data yang rapi dan analitik yang akurat. Dengan sistem digital seperti ESB POS, ERP, hingga Business Intelligence, kamu bisa mencatat biaya, memantau margin, dan memastikan keputusan harga lebih tepat.
Bisnis kuliner Kamu jalan di tempat karena kesalahan di operasional, marketing, atau keuangan? Jangan biarkan itu terus terjadi.
Dapatkan analisis mendalam dan solusi langsung dari mentor berpengalaman di Private Mentoring by Foodizz Academy. Fokus pada masalah spesifik Anda dan dapatkan arahan untuk membuat bisnis lebih maju.
